Monday, May 16, 2016

pendidikan

Didikan Guru Cerminan Masa Depan

            Negara maju tentunya tidak terlepas dari dunia pendidikan. Semakin tinggi kualitas pendidikan suatu negara, maka semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia yang dapat memajukan dan mengharumkan negaranya. Sebenarnya, tidak ada perbedaan antara sumber daya manusia antara negara maju dan negara berkembang, yang berbeda hanyalah cara mendidik sumber daya manusia itu sendiri. Hal ini tentunya tidak telepas dari peran seorang guru. Hal yang terpenting namun sering terlupakan dari seorang guru dalam mendidik siswanya adalah kejujuran. Bohong adalah bibit korupsi, dan menyontek adalah perilaku korupsi kecil. Apakah seorang guru yang membiarkan siswanya menyontek telah mendidik siswanya berperilaku jujur? Lihatlah, banyak siswa yang menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti apa yang mereka kerjakan. Tidak sedikit pula para siswa mengikuti tambahan pada guru mata pelajaran tertentu demi mendapatkan nilai bagus. Banyak guru yang tidak menerangkan, meremehkan siswanya, membiarkan siswanya tidak bisa, mengajarkan siswanya bahwa nilai dapat dibeli dengan uang, dan perilaku yang sering terjadi pada saat siswanya menghadapi UN, yaitu tidak percaya akan kemampuan siswanya.

            Nilai adalah sesuatu yang kita peroleh dari perilaku atau usaha kita. Namun, nilai perilaku jarang diperhitungkan. Apakah perilaku pada nilai rapor diberikan sebagaimana mestinya? Rasanya nilai perilaku hanya formalitas terpenuhinya nilai rapor dengan mencantumkan huruf A, B, atau C. Lain halnya dengan nilai mata pelajaran. Apakah kita pernah mendengar syarat mendapat beasiswa adalah nilai kerapihan, kejujuran, kedisiplinan, kerajinan minimal B? Kita lebih sering mendengar, untuk syarat mendapatkan beasiswa minimal nilai marematika, akutansi, geografi, fisika atau nilai eksak lainnya rata-rata 75. Dengan giat, setiap siswa pun akan mengejar angka diatas 75. Bagaimana jika seorang siswa tersebut dihadapkan dengan guru yang pelit? Siswa tersebut akan berjuang mendapatkan nilai diatas 75 dengan menghalalkan segala cara. Banyak siswa yang berpikir, “Belajar sampai malam belum tentu nilainya bagus, kalau open book, pasti jawabannya bagus dan peluang mendapat nilai bagus pun terbuka lebar.” Pernahkah kita membayangkan seorang guru memberikan nilai lebih dari nilai KKM baik untuk siswa yang diremedial ataupun yang tidak? Mungkin semua siswa tidak akan menghalalkan segala cara. Remedial terus menerus sampai mendapat nilai sesuai KKM tidak salah, tetapi memberikan 3 poin diatas nilai KKM sebagai nilai perjuangan remedial, apa salahnya?

            Seorang guru berhak memberikan nilai pada siswanya dan memberi tahu kriteria penilaiannya. Tapi apakah seoarang guru pernah mengajarkan bagaimana seorang siswa harus berjuang demi mendapat nilai darinya? Mungkin ada sebagian guru yang mengajarkan itu semua, tapi seorang siswa juga memperhitungkan kebiasaan guru tersebut. Jika guru itu malas membaca tugas para siswa dan hanya membubuhkan tanda tangan sebagai pengahargaan bagi usaha siswa mengerjakan tugas, para siswa juga cenderung mengerjakan tugas dengan asal-asalan dan menyalinnya dari internet atau temannya tanpa mereka mengerti apa yang mereka salin. Sebenarnya apa tujuan guru memberi tugas tersebut? Untuk nilai atau agar siswanya mengerti materi yang ditugaskan? Kebanyakan para siswa akan memilih pekerjaan instan, yaitu menyalin. Apa bedanya tanda tangan yang diberikan guru untuk tugas seorang siswa yang menyalin tugasnya dari teman dengan hasilnya sendiri? Apa istimewanya tanda tangan yang diberikan guru untuk tugas yang dikerjakan asal-asalan dengan tugas yang dikerjakan sungguh-sungguh hingga mereka mengerti?

            Begitu sulit nilai yang harus kita kejar, begitu sulit nilai yang guru berikan pada kita, dan betapa sering kita kecewa akan nilai yang kita peroleh. Tidak jarang orang tua yang rela mengeluarkan uang agar anaknya mendapat nilai yang bagus dengan mengikuti tambahan. Dan tidak heran pula apabila guru mengadakan tambahan bagi siswanya. Tidak ada yang salah dengan guru yang memberikan tambahan pada siswanya, yang salah adalah seorang guru yang memberikan nilai lebih dan membocorkan soal dan jawaban ulangan pada siswa yang mengikuti tambahan dengannya. Sebenarnya tujuan guru memberikan tambahan untuk apa? Untuk mendapatkan uang atau membantu siswanya untuk lebih mengerti pelajaran? Tujuan siswa mengikuti tambahan itu untuk apa? Untuk mendapat nilai bagus atau lebih mengerti pelajaran. Kita dididik dengan cara yang salah, dan dengan cara yang salah pula kita akan membangun masa depan yang baik untuk diri kita sendiri tanpa mementingkan orang lain.

            Guru yang baik akan menghargai kekurangan dan kelebihan siswanya. Dan guru yang mendukung siswanya adalah guru yang percaya akan kemampuan siswanya. Guru yang membocorkan soal ulangan atau mengerjakan soal UN lalu menyebarluaskan kunci jawabannya kepada siswanya, berarti guru tersebut tidak percaya dengan kemampuan siswanya dan kemampuan dirinya dalam mengajar. Seharusnya guru percaya pada siswanya bahwa mereka bisa dan pasti bisa. Dengan membocorkan kunci jawaban atau membocorkan soal, sama saja dengan membuat para siswa berpikir betapa sulitnya soal UN hingga para guru turun tangan dan para guru mengajarkan siswanya untuk tidak jujur. Memang dibalik kesulitan itu pasti akan ada kemudahan. Tapi mendapatkan kunci jawaban bukanlah kemudahan yang dimaksud. Itu semua mengajarkan kita untuk berbuat tidak jujur dan tidak percaya dengan kemampuan kita sendiri dan menyia-nyiakan alat indra yang Tuhan kasih kepada kita.

            Kejujuran memang pahit, tapi akan indah di akhir. Kejujuran memang datang dari diri sendiri dan untuk diri sendiri pula, tapi tidak ada salahnya mencontohkan kejujuran untuk orang lain dan mendidiknya untuk berperilaku jujur. Betapa indahnya negara ini berkembang dengan kejujuran. Tidak ada korupsi dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat berarti sesuai dengan arti yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan kondisi bangsa ini karena semenjak bersekolah kita mencontohkan perilaku yang tidak jujur dan dididik untuk tidak jujur. Lihatlah, ilmu yang kita cari tidak bisa mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Uang yang kita pakai untuk memperoleh nilai ini tidak dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Dan nilai yang kita peroleh tak pernah bisa menggeser negara maju nomor 1 di dunia, tetapi nilai yang kita peroleh telah mengantarkan bangsa ini menjadi negara korupsi peringkat ke 4 di dunia. Walaupun kejujuran tak pernah bisa menggeser negera maju nomor 1 di dunia dan mengantarkan negara ini menjadi negara maju, tetapi setidaknya kejujuran dapat membuat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.

essay pergerakan mahasiswa

Reformulasi Arah Gerak Mahasiswa Sebagai Pelaku Perubahan Mewujudkan Negara Yang Berdaulat, Adil dan Makmur

Mahasiswa adalah individu yang sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tugas pokok mahasiswa adalah untuk mendapatkan keahlian/ketrampilan berdasarkan suatu/sejumlah ilmu tertentu. 

Mahasiswa di era sekarang dituntut untuk bisa berperan aktif lebih banyak lagi dalam berbagai persoalan, terutama menyangkut pesoalan bangsa. Fungsi kontrol perlu ditunjukkan oleh mahasiswa. Karena peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat, tak berlebihan jika banyak harapan yang dipikul oleh mahasiswa.

Seharusnya mahasiswa juga tidak cukup kalau hanya menjadi praktisi intelektual akademisi yang hanya duduk sambil mendengarkan dosen didalam forum perkuliahan, hanya berkutat pada dunia perkuliahan, lebih dari pada itu mahasiswa harusnya dituntut untuk berperan dalam agen perubahan (agent of change) dan “social control” yang terjadi di sekitarnya. 

Simbol kemahasiswaan yang melekat pada dirinya akan membawa ciri khas tersendiri untuk tampil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam diri mahasiswa akan dilekatkan berbagai stigma. Piramida Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut menjadi jembatan atas aspirasi dari kaum akar rumput (masyarakat bawah) dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis. Oleh karena itu, jelas bahwa keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat. 

Posisi seorang mahasiswa sangatlah strategis untuk dimanfaatkan, dimana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi salah satu control power terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam memberikan respon terhadap aspirasi masyakat awam. Sangat dipahami bahwa terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Terhadap fenomena ini, mahasiswa harus muncul sebagai penjembatan dan berfungsi sebagai Social Control (control sosial), Agent Of Change (Insan Pembaharu/Perubahan), dan Change Of Development. Perlu di ingat bahwa tanggungjawab sosial mahasiwa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan memberikan respon secara general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai aspek kehidupan.

Akan tetapi fenomena hari ini kehidupan mahasiswa cenderung berbalik arah dari kehidupan mahasiswa silam. Semangat mahasiswa yang dahulu menjadi senjata utama dalam mengawal pemerintah kini mulai luntur, setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi hal itu. Pertama, pola pikir mahasiswa yang cenderung hedonis dan uforia. Kedua menjamurnya pemikiran pragmatis dalam diri mahasiswa dan ketiga sikap acuh terhadap kehidupan sosial yang semakin tergerus oleh nilai globalisasi.

Oleh sebab itu sudah saatnya mahasiswa membangun kembali kultur budaya spiritual, intelektual dan profesional serta mereformulasikan kembali arah gerak langkah setiap mahasiswa dalam mengembangkan dan mengamalkan Tri Darma perguruan tinggi untuk mewujudkan kehidupan sosial dan bernegara yang berdaulat, adil makmur.

Analisis terhadap STAIN Pekalongan

STAIN Pekalongan merupakan salah satu perguruan tinggi yang cukup dikenal oleh masyarakat Pekalongan dengan kampus Rahmatan lil ‘Alamin hal ini senada dengan visi STAIN Pekalongan yaitu "Pelopor Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Riset Menuju Kampus Rahmatan Lil 'Alamin".
Namun ada beberapa lapisan masyarakat yang memberi arti singkatan STAIN dengan Sekolah Teori Agama Islam Negeri, mereka agaknya cukup benar jika melihat kondisi real mahasiswa yang dihasilkan maupun yang sedang mengampuh perkuliahan aktif.

Mahasiswa STAIN Pekalongan yang notabene adalah mahasiswa Islam belum bisa menerapkan ciri-ciri seorang muslim kedalam hati maupun raganya. Opini ini muncul memang berdasarkan fakta, mereka mempelajari teori-teori mengenai agama Islam namun sikap keagamaan mereka tidaklah sesuai dengan teori yang dipelajarinya.

Hal ini dilihat dari perilaku yang dimunculkan oleh para mahasiswa STAIN selama berada di kampus maupun di luar kampus, yang tidak menerapkan hadits “annadhofatu minal iman” dimana lingkungan sekitar STAIN masih saja terdapat sampah berserakan, kedisiplinan dari mahasiswa dan dosen masih kurang, tata cara pergaulan dengan yang bukan muhrim dan cara menutup aurat pun masih dinilai kuarang sesuai dengan nilai yang dimiliki seorang muslim.

Agaknya memang kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada mahasiswa ataupun pihak STAIN, namun setidaknya ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan Pertama ialah mengenai isi/materi perkuliahan yang ada, bisa dibilang ada beberapa makul yang hanya mengulangi pelajaran di SMA/MA seperti fiqih. Bukankah esensi yang dipelajari harus beda di tiap jenjang pendidikan. Dimana jenjang SD/MI tahap menghafal, SMP/MTs tahap disiplin, SMA/MA tahap hikmah, dan perguruan tinggi tahap filosofi, dan sedikit sekali mata kuliah yang menempatkan esensi filosofi kedalam silabusnya.

Kedua organisasi & sistem yang ada, jika dilihat dari jumlah mahasiswa tiap tahun semakin meningkat. Namun apakah kualitas mereka sudah dibilang sesuai? Ini menjadi pertanyaan besar selama ini, banyak diantara para mahasiswa yang tidak mencerminkan mahasiwa STAIN (Islam). Seharusnya ini diperhatikan karena sistem perekrutan calon mahasiswa sangat berperan penting dalam menentukan kualitas mahasiswa STAIN.

Ada juga sistem evaluasi yang ada, hal ini  agak aneh memang. Ketika ada banyak sekali lulusan yang mendapat nilai cumlaude bukan hanya puluhan melainkan ada ratusan. Apakah salah mereka mendapat cumlaude? Apakah sesuai mereka mendapatkan cumlaude? Banyak para mahasiwa mendapatkan nilai A dikarenakan banyak bertanya atau rajin masuk kelas, namun mereka yang mendapat nilai A rata-rata belum menguasai betul materi yang diajarkan. Apakah ini salah mahasiswa atau salah dosen?

Seharusnya mahasiswa itu lulus tepat waktu. Yaitu ketika mahasiswa sudah betul-betul menguasai program pendidikan yang dipilihnya dan sudah mencerminkan ahli dibidangnya. Bukan tepat waktu 4 tahun.

kampus rahmatan lil 'alamin

Titik Noda Kampus Rahamatan lil ‘Alamin

STAIN Pekalongan merupakan salah satu perguruan tinggi yang cukup dikenal oleh masyarakat Pekalongan dengan kampus Rahmatan lil ‘Alamin hal ini senada dengan visi STAIN Pekalongan yaitu "Pelopor Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Riset Menuju Kampus Rahmatan Lil 'Alamin".

Namun ada beberapa lapisan masyarakat yang memberi arti singkatan STAIN dengan Sekolah Teori Agama Islam Negeri, mereka agaknya cukup benar jika melihat kondisi real mahasiswa yang dihasilkan maupun yang sedang mengampuh perkuliahan aktif.

Mahasiswa STAIN Pekalongan yang notabene adalah mahasiswa Islam belum bisa menerapkan ciri-ciri seorang muslim kedalam hati maupun raganya. Opini ini muncul memang berdasarkan fakta, mereka mempelajari teori-teori mengenai agama Islam namun sikap keagamaan mereka tidaklah sesuai dengan teori yang dipelajarinya.

Hal ini dilihat dari perilaku yang dimunculkan oleh para mahasiswa STAI N selama berada di kampus maupun di luar kampus, yang tidak menerapkan hadits “annadhofatu minal iman” dimana lingkungan sekitar STAIN masih saja terdapat sampah berserakan, kedisiplinan dari mahasiswa dan dosen masih kurang, tata cara pergaulan dengan yang bukan muhrim dan cara menutup aurat pun masih dinilai kuarang sesuai dengan nilai yang dimiliki seorang muslim.

Jika permasalahan tersebut muncul maka bisa dibilang ada unsur sebab musabab, maka dari itu muncul pertanyaan, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa yang salah dengan STAIN Pekalongan? Apa pula salah mahasiswa?

Agaknya memang kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada mahasiswa ataupun pihak STAIN, namun setidaknya ada dua titik pokok yang perlu diperhatikan lebih dalam yaitu, isi atau materi perkuliahan dan organisasi & sistem yang ada di STAIN.

Pertama ialah mengenai isi/materi perkuliahan yang ada, bisa dibilang ada beberapa makul yang hanya mengulangi pelajaran di SMA/MA seperti fiqih. Bukankah esensi yang dipelajari harus beda di tiap jenjang pendidikan. Dimana jenjang SD/MI tahap menghafal, SMP/MTs tahap disiplin, SMA/MA tahap hikmah, dan perguruan tinggi tahap filosofi, dan sedikit sekali mata kuliah yang menenpatkan esensi filosofi kedalam silabusnya.

Kemudian organisasi & sistem yang ada, jika dilihat dari jumlah mahasiswa tiap tahun semakin meningkat. Namun apakah kualitas mereka sudah dibilang sesuai? Ini menjadi pertanyaan besar selama ini, banyak diantara para mahasiswa yang tidak mencerminkan mahasiwa STAIN (Islam). Sebagai contoh, ketika ujian tilawah ibadah banyak diantara mereka yang tidak hafal juz ‘amma bahkan dari surat ad dhuha sampai an-nas pun masih banyak tajwid  yang salah dan rata-rata mereka mau menghafal karena ada ujian, dan seandainya tidak ada ujian tilawah mungkin sampai lulus pun tidak akan menghafalkan walaupun ia seorang lulusan STAIN. Seharusnya ini diperhatikan karena sistem perekrutan calon mahasiswa sangat berperan penting dalam menentukan kualitas mahasiswa STAIN.

Ada juga sistem sistem evaluasi yang ada, hal ini  agak aneh memang. Ketika ada banyak sekali lulusan yang mendapat nilai cumlaude bukan hanya puluhan melainkan ada ratusan. Apakah salah mereka mendapat cumlaude? Apakah sesuai mereka mendapatkan cumlaude? Banyak para mahasiwa mendapatkan nilai A dikarenakan banyak bertanya atau rajin masuk kelas, namun mereka yang mendapat nilai A rata-rata belum menguasai betul materi yang diajarkan. Apakah ini salah mahasiswa atau salah dosen?

Seharusnya mahasiswa itu lulus tepat waktu. Yaitu ketika mahasiswa sudah betul-betul menguasai program pendidikan yang dipilihnya dan sudah mencerminkan ahli dibidangnya. Bukan tepat waktu 4 tahun.

DIARY 3

KASIH Kadang saya masih saja tak mengerti, perasaan apa yang ada dalam diri seorang manusia. Perasaan unik yang dapat menjadikan ia ...