SANTRI
(Semangat
Narapidana Tegakkan Risalah Islam)
“Narapidana”,
mendengar kata tersebut di benak kita tentu yang muncul adalah kesan negatif
yang dialamatkan kepadanya karena identik dengan perbuatan kriminal (melanggar
hukum) yang telah dilakukan. Namun kesan tersebut berhasil dirubah oleh para
narapidana di Lapas Kelas II A Pekalongan, terutama sejak didirikanya Pondok
Pesantren Darul Ulum pada tanggal 4 November 2013 atau bertepatan dengan 1
Muharram 1435 H. Narapidana yang beragama Islam banyak yang mengikuti kegiatan
di pondok pesantren berbasis Tahfidzul Qur’an tersebut, tentu saja status
narapidana berganti menjadi santri, meskipun dua status tersebut masih mereka
sandang sekarang namun secara aktifitas keseharian mereka lebih mencerminkan
jatidiri seorang santri dimana dari pagi hari hingga malam sebelum tidur
semuanya mereka isi dengan kegiatan keagamaan.
Dengan
bimbingan dari ustadz ulum (pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum), para santri
sudah dibangunkan sejak jam 3 pagi untuk shalat tahajud, mujahadah, tadarus,
shalat subuh berjamaah, taklim kitab fadhillah amal dan kuliah subuh, mereka
lakukan hingga jam 6 pagi. Setelah itu jam 9 pagi mereka harus sudah ada di
masjid At-Taubah Lapas Kelas II A Pekalongan, disana mereka ada yang membentuk halaqah
Iqro’, Tajwid, Tadarus Al-Qur’an, Tahfidz maupun shalat dhuha, hingga jam 11
siang mereka kemudian mengikuti ceramah keagamaan yang diisi dari Kemenag dan
dilanjut shalat dhuhur berjamaah. Pembelajaran mereka lanjutkan setelah shalat
ashar dengan membentuk halaqah serupa sampai menjelang maghrib kemudian mereka
tadarus sambil menyiapkan setoran hafalan kepada ustadz Ulum setiap bakda
maghrib. Mereka beristirahat setelah sesi mudzakarah bakda isya sekitar jam 8
malam. Para santri melakukanya dengan penuh antusias dan semangat sehingga
amalan-amalan masjid hidup dan banyak narapidana yang tertarik mengikuti
kegiatan tersebut.
Tak
heran jika narapidana yang dulunya belum pernah mengenal agamapun tanpa rasa
minder mereka mendaftarkan diri menjadi santri meskipun harus belajar dari awal
mengenal huruf-huruf hijaiyah namun mereka memiliki semangat untuk mempelajari
agama Islam. Maka kalau dulu Masjid Nabawi menjadi saksi suku-suku dan
bangsa-bangsa masuk Islam, di Masjid At-Taubah Lapas Kelas II A Pekalongan kita
akan melihat narapidana yang sebelumnya menghiasi diri dengan atribut tato di
badanya kemudian menghiasi dirinya dengan belajar membaca Al-Qur’an. Orang-orang
yang dulunya ahli maksiat sekarang menjadi ahli ta’at. Lapas sebagai tempat
pembinaan narapidana menjadi pencetak orang-orang yang punya semangat menghafal
Al-Qur’an, hingga banyak santri yang sudah hafal hingga 2 sampai 8 juz. kini
kegiatan di pondok pesantren tersebut semakin digalakan, tidak hanya santri
saja, seluruh narapidana yang beragama Islam diwajibkan untuk mengikuti shalat
berjamaah di masjid At-Taubah, bahkan jika sedang terjadi robb maka narapidana
terpaksa menuju masjid dengan menggunakan sepatu boot. sehingga ketika datang
waktu shalat maka masjidpun penuh dengan jamaah hingga ke teras masjid.
Pemandangan ini banyak menarik perhatian hingga di kalangan luar Lapas, baik
dari akademisi, pemerintah bahkan artis dan musisi.
Dari
kalangan akademisi mulai banyak mahasiswa dan dosen yang melakukan kajian riset
disana termasuk dari STAIN Pekalongan dan STIKAP Kabupaten Pekalongan,
pemerintah kota pekalongan sendiri mendukung penuh kegiatan pondok pesantren di
dalam Lapas Kelas II A Pekalongan tersebut dengan turut menganggarkan APBD kota
pekalongan sebesar Rp.25.000.000., untuk operasional kegiatan pondok, sementara
Kemenag memberikan tenaga pengajar disana, bahkan Bupati Kabupaten Batang
(Yoyok), pernah mengisi kajian dan motivasi bagi para santri untuk lebih giat belajar
dan mendalami Agama Islam. Dari kalangan artis dan musisi seperti Sakti (ex
Sheila On7), Deri Sulaiman (ex Gitaris Metal), Sunu (Matta Band) dan Ray (Nine
Ball) pernah datang ke Lapas untuk mengisi acara Maulidurrasul. Termasuk Ustadz
Yusuf Mansyur yang terkesan setelah mendengar laporan dari Pondok Pesantren
Darul Qur’an semarang (Pondok pesantren yang dipimpin oleh ustadz Yusuf Mansyur)
setelah berkunjung ke Lapas Kelas II A Pekalongan, maka ustadz Yusuf Masyur
segera mengundang salah seorang santri di Lapas tersebut untuk mengikuti Wisuda
Akbar Pondok Pesantren Darul Qur’an di Gelora Bungkarno Jakarta, hanya saja
santri tersebut tidak bisa memenuhi undangan tersebut karena masalah
administrasi yang tidak bisa mengizinkannya untuk keluar dari Lapas. Semua
dukungan tersebut membuat para santri semakin semangat untuk belajar dan
mengamalkan agama Islam serta menyesali perbuatan maksiat yang telah
dilakukanya.
Agama
telah merubah pandangan dan cara hidup
narapidana di Lapas Kelas II A Pekalongan. Banyak narapidana yang bercita-cita
ingin menjadi ustadz atau da’i karena ingin mengabdikan dirinya untuk agama,
ada yang ingin segera memondokkan anaknya agar menjadi anak yang
sholih/sholihah, ada yang ingin menjadi Hafidz Qur’an dan sebagainya. Agama
menjadi mudah diamalkan karana semangat yang mereka miliki bahkan di tempat
yang memiliki kesan negatif seperti di Lapas tidak menjadi penghalang bagi
mereka. Ada satu motto hidup yang selalu ditanamkan dalam diri para santri agar
semangat dalam mengamalkan agama: “Hidup
dalam Dakwah, Dakwah sampai Mati, Mati dalam Dakwah”
karya Khairul Anam (mahasiswa STAIN Pekalongan semester 8)